Pages

Islam is Never Die

Selesai shalat maghrib, saya tidak langsung keluar dari tempat ibadah itu. Saya duduk di pojok salah satu mushala tersebut. Mata saya memandang hampir ke seluruh ruangan berukuran 7 X 8 meter itu. Sebuah tempat yang sangat berarti bagi saya ketika saya kecil di tahun 80-an.

Di tempat inilah dulu saya diajari cara-cara shalat. Di tempat inilah saya dulu belajar Al-Qur'an, fiqih dan lagu-lagu shalawat. Saat-saat antara maghrib dan isya, mushalla kecil ini penuh dengan orang belajar agama. Baik anak-anak, remaja maupun orang tua. Alunan tadarrus Al-Qur'an tak pernah berhenti setiap malam. Inilah saat-saat indah yang sering saya rasakan.

Tapi malam itu saya tertunduk lesu. Ketika kemoderenan dan kecanggihan teknologi merambah kampung saya, tradisi baik itu nyaris hilang. Anak-anak, remaja dan orang tua di waktu antara Maghrib dan Isya, lebih asyik duduk di depan televisi rumahnya masing-masing. Mushalla itu sekarang sepi. Sepi sekali. Dulu di zaman saya kecil, tak ada satu kotoran cicak pun yang tergeletak di lantai, karena seringnya disapu. Tapi sekarang, saat lantai itu sudah berganti dengan keramik mahal, kotoran cicak berserakan di setiap sudut. Suatu pertanda, bahwa mushalla ini jarang dikunjungi orang.

Inikah ciri-ciri telah robohnya surau kami? Mungkin benar, sinyalemen sastrawan AA Navis itu. Dari luar mushalla ini tampak megah. Kubahnya aluminium pilihan seperti masjid-masjid di kota. Atapnya berupa genteng-genteng pilihan yang terbaik. Jendela-jendelanya semua kayu jati. Lantainya sudah dipasang keramik terbaru. Namun, di dalamnya tak berisi, kecuali sajadah kumal dan Al-Qur'an yang tak kalah kumalnya.

Siapa yang salah dari keadaan seperti ini? Saya tertunduk lesu. Dalam hati sayapun merasa ikut bersalah. Terlalu lama saya hidup di perantauan.

Mushalla ini dibangun kakek saya sepulang dari pengungsian geger DI/TII di tahun 50-an. Kakek saya sudah berusaha mengkader anak-anaknya untuk meneruskan estafet ke-Islaman di sini, setelah dia sudah tidak kuat lagi jadi imam mushalla. Namun, ayah saya yang seharusnya menggantikan peranan kakek, meninggal terlebih dahulu. Adik -adik bapak saya setelah mendapatkan jodoh, ikut hidup di kampung isterinya. Dan saya sendiri, yang diminta kakek untuk meneruskan tongkat itu, belum bisa terjun secara total.

Dulu, saya pernah mempunya cita-cita, sepulang dari perantauan, saya ingin membuat suatu komunitas ke-Islaman di tempat ini. Atau paling tidak ada semacam islamic centre di daerah saya. Walaupun tidak mungkin sebesar yang pernah dibangun KH Hasyim Asy'ari di Jombang, KH Khudori di Magelang, KH Rukhiyat di Tasikmalaya, atau Hamka di Kebayoran Baru. Minimal saya punya cita-cita agar di tempat ini ada orang belajar agama secara istiqamah.

Namun, setelah melanglang ke berbagai tempat, saya tidak mendapat apa-apa. Harta tak dapat, apalagi ilmu agama seperti alumni pesantren atau universitas Islam. Saya rupanya hanya beravonturir saja. Saya hanya mendapatkan sobekan-sobekan kertas, buku-buku kumal, majalah-majalah bekas yang masih saya simpan di salah satu sudut rumah orang tua saya. Suatu saat, jika ada modal, saya akan memulai membangun komunitas ke-Islaman dari sobekan-sobekan kertas tersebut. Insya Allah.

Oleh karena itu, beberapa hari menjelang saya berangkat ke negara tetangga, Brunei, saya menitipkan pesan kepada adik saya. Pesan saya adalah agar dia jangan mengikuti jejak saya terlebih dahulu. Saya menginginkan tamatan STM dan pernah nyantri sebentar di sebuah pesantren itu, bertahan di kampung. Agar musalla kecil itu tetap ada suara adzan. Paling tidak pada waktu Maghrib atau Isya. Jangan sampai suara adzan pun hilang. Lagipula Allah telah memberi rizki pada dia, tidak harus keluar dari rumah. Ia sedikit-sedikit sudah bisa mencari uang dengan membuka bengkel elektronik di rumah. Alhamdulillah, ia menyetujui saran saya.

Setelah menitip pesan kepada adik saya, saya terus silaturrami ke rumah salah satu saudara ibu saya. Dan saya banyak berbicara dengan salah satu anaknya, seorang gadis muda 20-an tahun. Kepada akhwat inilah dari dulu saya selalu salut. Salut dan kagum dengan idealismenya. Ia adalah salah satu dari sedikit muslimah di kampung saya yang memakai jilbab kaffah. Ketika teman-teman sebayanya berduyun-duyun merantau ke Hongkong, Taiwan, Arab Saudi, Malaysia dan Brunei, ia bertahan saja di rumah. Bahkan ia memilih jadi guru TK saja. Padahal berapa penghasilan jadi guru TK? Tentu jika dibandingkan dengan mereka yang bekerja di Hongkong, gajinya tak seberapa. Namun, itulah pilihan hidupnya.

Diam-diam, dalam hati, saya memohon kepada Allah, agar gadis ini mendapatkan jodoh orang yang baik, yang sejalan dengan idealismenya. Yaitu ingin ikut menebarkan dakwah di sekelilingnya. Jangan sampai mendapat jodoh orang yang kurang sejalan dengan jalan hidupnya. Atau dalam bahasa guru-guru pendekar tanah Jawa, "Jangan sampai pusaka berharga ini jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab."

Beberapa waktu lalu, setelah saya satu tahun bekerja di negeri orang, tiba-tiba saya mendapat SMS dari adik saya. Kata-katanya pendek saja. "Mas, saya minta doa restu. Besok pagi saya mau nikah."

Kaget, bingung, heran campur aduk menjadi satu. Sebab ia tidak memberi tahu terlebih dahulu. Dan setahu saya, ia punya pacar, tapi sedang merantau ke Taiwan dan belum lama bekerja di negeri tersebut. Saya jadi bertanya-tanya. Dengan siapa ia memutuskan untuk menikah? Sebab selama ini ia selalu gagal membangun hubungan dengan seorang wanita.

Saya segera mengontak lewat telpon. Ingin rasanya segera mengetahui siapa calon istrinya. Ternyata gadis itu adalah anak saudara ibu saya yang saya ceritakan di atas. Saya kaget lagi. Karena saya menganggap tidak mungkin. Ia saudara dekat kami. Namun itulah kehendak-Nya.

Malam itu saya benar-benar haru, dengan ketentuan Illahi Rabbi. Sampai tak terasa air mata ini tak tertahan lagi. sesuatu yang bagi saya tidak mungkin terjadi, tapi bagi Allah sangat mudah untuk terjadi.

Saya mengambil napas panjang. Kemudian saya keluarkan perlahan. Lega sekali rasanya. Ada setitik api Islam yang mudah-mudahan akan menyala kembali di musalla keluarga kami, setelah bergabungnya dua insan yang sangat saya harapkan kiprah dakwahnya di kampung saya. Atau paling tidak, surau atau musalla kami tidak jadi roboh. Tapi akan lebih makmur kembali seperti zaman saya kecil dahulu.

Di perantauan, nun jauh dari kampung saya, saya kembali terguguk sambil mengelap air mata. Mudah-mudahan Allah tidak mematikan api Islam di kampung saya, walaupun kemoderenan yang dibawa mereka yang pulang dari bekerja di luar negri tak terbendung lagi. Baik kemoderenan secara lahir maupun batin.

Saya makin yakin, bahwa yang menjaga kelangsungan hidup Islam bukanlah mahluk, tapi Sang Khalik sendiri. Dia yang berhak memilih siapa saja untuk menjadi agen-Nya. Dialah yang menyalakan api-api kecil agar terus menyala dan menyala. Dan jika ada seribu Bush, atau dua ribu Tony Blair, yang kebenciannya makin menjadi kepada Islam, datang lagi ke planet bumi ini, Islam tak kan pernah mati. Islam is never Die. Percayahlah!

Namun, tentu saja keyakinan itu bukanlah keyakinannya orang-orang bodoh. Akan tetapi keyakinannya muslim-muslim yang sejati. Muslim yang sekaligus mu'min. Sebuah keyakinan yang dibarengi dengan upaya-upaya dakwah. Sekecil apapun upaya itu. Walaupun mungkin hanya sekedar mengumandangkan kalimah adzan di sebuah mushalla kecil nun jauh di kampung. Atau mungkin juga hanya sebatas menemani anak-anak kita, saudara-saudara dan tetangga-tetangga kita dalam belajar membaca Al-Qur'an. Yang kesemuanya itu adalah usaha untuk menebarkan sekaligus menumbuhkan kalimah Allah dimuka bumi ini.

0 komentar:

Posting Komentar